siluet indah

siluet indah

Selasa, 02 Februari 2010

aku dan ibu

Setelah hampir 3 menit tercekat dalam kegelisahan, akhirnya perlahan aku bisa melepaskan kekhawatiran yang menghimpit dadaku. Seulas senyum menghias bibirku saat mataku menatap benda yang kugenggam erat, sebuah garis tertera disana.

“sayang, gimana hasilnya?” Raka menghampiriku tiba-tiba, dari balik punggungku, tangannya merangkul tubuhku.

“Negatif hon.” Jawabku ringan tanpa beban. Tak mampu kusembunyikan kelegaan yang menyeruak.

Segera saja raut wajah Raka berubah. Binar-binar bahagia yang tadi sempat merona, sirna tanpa bekas.

Kubalikkan tubuhku menghadap dia, lembut kukecup bibirnya.
Mmmhhhhhh…….
“Mungkin waktunya belum tepat, kita harus lebih banyak bersabar. Dan juga berusaha tentunya.” Ujarku sambil mengerling nakal. Kurapatkan tubuhku dengannya, tanganku mulai bergerilya didadanya. Sejurus kemudian kukecup lagi bibirnya, kali ini sedikit liar, kulumat penuh gairah.

Tapi Raka menanggapinya dengan dingin. Tak sedikitpun dia merespon aksiku. Dalam diam Raka menarik tubuhnya dan bergerak menjauhiku.

“Come on hon, it’s not a big problem, don’t be so sad” Kataku sambil menyusul Raka yang terduduk lesu dikasur.

Raka merespon kata-kataku dengan tatapan tajam. “Buat kamu ini bukan masalah, karena kamu memang tidak pernah menginginkan hal itu” Raka melontarkan kata-kata singkat namun cukup menohokku.

Dengan lembut kuraih tangannya, kuletakkan didadaku. “Aku tahu kamu kecewa, tapi ini kenyataan yang harus kita hadapi sekarang. Mungkin Tuhan berpikir kita belum siap untuk menerima titipannya” Hati-hati kulontarkan kata demi kata.

Dengan kasar Raka menarik tangannya. “ Tentu saja Tuhan belum mau menitipkan seorang anak pada kita. Dia tahu pasti bahwa kamu tidak mengharapkannya.” Hardiknya sambil menatap lekat kedua bola mataku, seolah ingin menelanjangi isi hatiku

“Aku tak mengerti mengapa tak sedikitpun tergurat kekecewaan diwajahmu. Tak sekalipun aku menangkap hasrat untuk menjadi seorang ibu, padahal hampir semua wanita didunia ini berharap bisa disebut sebagai ibu. Apa kamu takut kariermu akan mandek setelah kamu menjadi seorang ibu???” Raka mulai meradang, nafasnya memburu, matanya memerah. Dia memang selalu seperti ini bila sedang dihinggapi emosi.

“Honey, kamu belum lupa kan? Selama ini aku selalu jujur kalau aku belum siap mejadi seorang Ibu. Tapi demi kamu, karena kamu yang meminta, aku mencoba untuk siap. Sejak 6 bulan lalu aku bersedia melepas alat kontrasepsi. Apa aku bersalah bila sampai detik ini kita belum mendapatkan yang kita inginkan?” Ujarku lembut. Sambil tersenyum kucoba untuk meraih tangannya, berharap bisa sedikit meredam emosinya


*
Plak….
Pipiku terasa panas dan perih setelah telapak tangan ibu mendarat dengan keras. Bulir-bulir air mata mulai mengalir dari kedua bola mataku. Yang pasti bukan karena tamparan yang baru kuterima, aku nggak akan menangis lagi untuk sesuatu yang sudah sering kurasakan, aku menangis menahan sakit yang berdenyut dikakiku.
“Dasar anak nakal, tidak tahu diri. Apa kamu tahu berapa harga guci itu? Cari duit itu nggak gampang, kamu mengemis sampai sebulan pun nggak akan bisa mendapatkan uang untuk mengganti guci itu.” Ibuku berteriak dengan suara menggelegar, matanya menghardikku geram.

Aku hanya bisa tertunduk dan diam. Hati-hati kukumpulkan puing-puing keramik yang berserakan dilantai. Bulu kudukku merinding melihat noda merah yang tercecer. Aku takut melihat darah, tapi dengan terpaksa aku harus menyeka darah segar dikakiku yang tadi terkena pecahan keramik.

“Kumpulkan semua pecahan itu. Bagaimanapun caranya, kamu harus bisa mengembalikan guci itu kebentuk semula. Kalau tidak jangan harap malam ini kamu akan mendapatkan makan malam dan bisa tidur didalam rumah” hardik ibuku sambil berlalu kedalam kamar

**
Dengan nafas tersenggal aku terus berlari. Beberapa meter dibelakangku, ibuku juga berlari dengan sapu lidi teracung ditangan kanannya. Sambil menggerakkan senjatanya, bibir ibu komat-kamit meneriakkan sumpah serapah

Aku terus berlari, tanpa peduli pada tubuh mungilku yang hanya terbungkus singlet dan celana dalam. Untung aku masih cilik, kalau tidak aku pasti akan jadi santapan mata liar para pria nakal. Tak kuhiraukan berpasang-pasang mata yang terheran-heran melihat adegan yang kami pertontonkan. Yang aku pedulikan saat ini hanya tubuhku, luka-luka dipunggungku yang belum mengering. Aku tak rela ibu menorehkan luka baru diatas luka lama yang masih perih.

Aku terus berlari meski lelah terasa mulai mendera, yang aku tahu aku harus menjauh dari ibuku yang sedang terbakar amarah.

***
Deg…..
Aku tercekat mendapati ibu berdiri didepan pintu rumah sambil berkacak pinggang, sorot matanya penuh amarah.
“Dari mana saja kamu Yayu? Anak gadis baru pulang kerumah malam-malam begini. Siapa yang ngajarin kamu jadi liar seperti ini?” Tanya ibuku.

“tadi sepulang sekolah aku kerumah Tika bu, mengerjakan tugas kelompok” Jawabku lirih. Kepalaku tertunduk lesu, aku tak berani menatap mata ibuku

“ Halah alasan aja kamu. Bilang saja kamu habis bersenang-senang dengan teman priamu diluar sana. Dasar anak nakal, liar, murahan. Sudah berapa pria yang kamu kencani??” Ibuku mulai membabi buta. Kata-kata hujatan mengalir dari bibirnya.

Dengan mata berkaca-kaca aku berlari kekamar. Segera kuhempaskan tubuhku keatas kasur, kutumpahkan airmataku disana.

“ Yang sabar ya yu…” si mbak menghampiriku, pelan dibelainya lembut kepalaku. Mencoba untuk mengurangu kesedihanku.

Sejak kecil, aku sudah dicekoki dengan kata-kata hujatan. Aku juga sangat sering dijadikan sansak oleh ibuku. Semakin hari aku semakin tak bisa memaklumi sikap ibu. Nuraniku berkata, wanita yang menyebut dirinya Ibu, tidak sepantasnya menyanyikan kata-kata makian ditelinga dan melukis guratan-guratan menghias tubuh, seorang anak yang lahir dari rahimnya.

************************

Raka tertidur pulas disebelahku, lelap sekali seperti sedang terhanyut dialam mimpi. Pelan-pelan kubelai ubun-ubunnya, lalu kukecup lembut.
“Bermimpilah sayang, bermimpilah sesukamu. Bermain dan bercandalah dengan bayi-bayi mungil dambaanmu. Karena mungkin dialam nyata kamu tak akan menemui kebahagiaan seperti itu”

Malas-malasan kuangkat tubuhku, bergerak menjauhi tempat tidur. Pelan dan hati-hati kubuka laci paling bawah dari lemari buku berwarna coklat bata yang terletak dipojokan kamar. Penuh semangat kuraih bungkusan pil yang tergolek disana. Tanpa ragu kureguk sebutir. Pil inilah yang menjadi penolongku setelah Raka mendesakku untuk melepas alat kontrasepsi.

“Aku belum siap menjadi ibu, bahkan mungkin tak akan pernah siap. Maafkan aku Raka” bisikku lirih sambil menatap sekilas padanya yang masih tertidur pulas.

Kegalauan itu kembali menyapaku. Jujur, terkadang akupun rindu mendengar suara bening bergema memanggilku ibu. Namun luka dihatiku membuatku terpenjara dalam ketakutan. Aku takut akan menorehkan luka yang sama pada jiwa yang kelak lahir dari rahimku. Didalam tubuhku mengalir darah seorang wanita yang menghujam perih dijiwaku, dan didalam darahku masih larut bulir-bulir kebencian dan sakit hati.

Aku takut menjadi seorang ibu, karna aku membenci IBU.

1 komentar:

ironipotensia mengatakan...

mm... napa gak jalan lg blognya?

Posting Komentar