siluet indah

siluet indah

Selasa, 02 Februari 2010

aku dan ibu

Setelah hampir 3 menit tercekat dalam kegelisahan, akhirnya perlahan aku bisa melepaskan kekhawatiran yang menghimpit dadaku. Seulas senyum menghias bibirku saat mataku menatap benda yang kugenggam erat, sebuah garis tertera disana.

“sayang, gimana hasilnya?” Raka menghampiriku tiba-tiba, dari balik punggungku, tangannya merangkul tubuhku.

“Negatif hon.” Jawabku ringan tanpa beban. Tak mampu kusembunyikan kelegaan yang menyeruak.

Segera saja raut wajah Raka berubah. Binar-binar bahagia yang tadi sempat merona, sirna tanpa bekas.

Kubalikkan tubuhku menghadap dia, lembut kukecup bibirnya.
Mmmhhhhhh…….
“Mungkin waktunya belum tepat, kita harus lebih banyak bersabar. Dan juga berusaha tentunya.” Ujarku sambil mengerling nakal. Kurapatkan tubuhku dengannya, tanganku mulai bergerilya didadanya. Sejurus kemudian kukecup lagi bibirnya, kali ini sedikit liar, kulumat penuh gairah.

Tapi Raka menanggapinya dengan dingin. Tak sedikitpun dia merespon aksiku. Dalam diam Raka menarik tubuhnya dan bergerak menjauhiku.

“Come on hon, it’s not a big problem, don’t be so sad” Kataku sambil menyusul Raka yang terduduk lesu dikasur.

Raka merespon kata-kataku dengan tatapan tajam. “Buat kamu ini bukan masalah, karena kamu memang tidak pernah menginginkan hal itu” Raka melontarkan kata-kata singkat namun cukup menohokku.

Dengan lembut kuraih tangannya, kuletakkan didadaku. “Aku tahu kamu kecewa, tapi ini kenyataan yang harus kita hadapi sekarang. Mungkin Tuhan berpikir kita belum siap untuk menerima titipannya” Hati-hati kulontarkan kata demi kata.

Dengan kasar Raka menarik tangannya. “ Tentu saja Tuhan belum mau menitipkan seorang anak pada kita. Dia tahu pasti bahwa kamu tidak mengharapkannya.” Hardiknya sambil menatap lekat kedua bola mataku, seolah ingin menelanjangi isi hatiku

“Aku tak mengerti mengapa tak sedikitpun tergurat kekecewaan diwajahmu. Tak sekalipun aku menangkap hasrat untuk menjadi seorang ibu, padahal hampir semua wanita didunia ini berharap bisa disebut sebagai ibu. Apa kamu takut kariermu akan mandek setelah kamu menjadi seorang ibu???” Raka mulai meradang, nafasnya memburu, matanya memerah. Dia memang selalu seperti ini bila sedang dihinggapi emosi.

“Honey, kamu belum lupa kan? Selama ini aku selalu jujur kalau aku belum siap mejadi seorang Ibu. Tapi demi kamu, karena kamu yang meminta, aku mencoba untuk siap. Sejak 6 bulan lalu aku bersedia melepas alat kontrasepsi. Apa aku bersalah bila sampai detik ini kita belum mendapatkan yang kita inginkan?” Ujarku lembut. Sambil tersenyum kucoba untuk meraih tangannya, berharap bisa sedikit meredam emosinya


*
Plak….
Pipiku terasa panas dan perih setelah telapak tangan ibu mendarat dengan keras. Bulir-bulir air mata mulai mengalir dari kedua bola mataku. Yang pasti bukan karena tamparan yang baru kuterima, aku nggak akan menangis lagi untuk sesuatu yang sudah sering kurasakan, aku menangis menahan sakit yang berdenyut dikakiku.
“Dasar anak nakal, tidak tahu diri. Apa kamu tahu berapa harga guci itu? Cari duit itu nggak gampang, kamu mengemis sampai sebulan pun nggak akan bisa mendapatkan uang untuk mengganti guci itu.” Ibuku berteriak dengan suara menggelegar, matanya menghardikku geram.

Aku hanya bisa tertunduk dan diam. Hati-hati kukumpulkan puing-puing keramik yang berserakan dilantai. Bulu kudukku merinding melihat noda merah yang tercecer. Aku takut melihat darah, tapi dengan terpaksa aku harus menyeka darah segar dikakiku yang tadi terkena pecahan keramik.

“Kumpulkan semua pecahan itu. Bagaimanapun caranya, kamu harus bisa mengembalikan guci itu kebentuk semula. Kalau tidak jangan harap malam ini kamu akan mendapatkan makan malam dan bisa tidur didalam rumah” hardik ibuku sambil berlalu kedalam kamar

**
Dengan nafas tersenggal aku terus berlari. Beberapa meter dibelakangku, ibuku juga berlari dengan sapu lidi teracung ditangan kanannya. Sambil menggerakkan senjatanya, bibir ibu komat-kamit meneriakkan sumpah serapah

Aku terus berlari, tanpa peduli pada tubuh mungilku yang hanya terbungkus singlet dan celana dalam. Untung aku masih cilik, kalau tidak aku pasti akan jadi santapan mata liar para pria nakal. Tak kuhiraukan berpasang-pasang mata yang terheran-heran melihat adegan yang kami pertontonkan. Yang aku pedulikan saat ini hanya tubuhku, luka-luka dipunggungku yang belum mengering. Aku tak rela ibu menorehkan luka baru diatas luka lama yang masih perih.

Aku terus berlari meski lelah terasa mulai mendera, yang aku tahu aku harus menjauh dari ibuku yang sedang terbakar amarah.

***
Deg…..
Aku tercekat mendapati ibu berdiri didepan pintu rumah sambil berkacak pinggang, sorot matanya penuh amarah.
“Dari mana saja kamu Yayu? Anak gadis baru pulang kerumah malam-malam begini. Siapa yang ngajarin kamu jadi liar seperti ini?” Tanya ibuku.

“tadi sepulang sekolah aku kerumah Tika bu, mengerjakan tugas kelompok” Jawabku lirih. Kepalaku tertunduk lesu, aku tak berani menatap mata ibuku

“ Halah alasan aja kamu. Bilang saja kamu habis bersenang-senang dengan teman priamu diluar sana. Dasar anak nakal, liar, murahan. Sudah berapa pria yang kamu kencani??” Ibuku mulai membabi buta. Kata-kata hujatan mengalir dari bibirnya.

Dengan mata berkaca-kaca aku berlari kekamar. Segera kuhempaskan tubuhku keatas kasur, kutumpahkan airmataku disana.

“ Yang sabar ya yu…” si mbak menghampiriku, pelan dibelainya lembut kepalaku. Mencoba untuk mengurangu kesedihanku.

Sejak kecil, aku sudah dicekoki dengan kata-kata hujatan. Aku juga sangat sering dijadikan sansak oleh ibuku. Semakin hari aku semakin tak bisa memaklumi sikap ibu. Nuraniku berkata, wanita yang menyebut dirinya Ibu, tidak sepantasnya menyanyikan kata-kata makian ditelinga dan melukis guratan-guratan menghias tubuh, seorang anak yang lahir dari rahimnya.

************************

Raka tertidur pulas disebelahku, lelap sekali seperti sedang terhanyut dialam mimpi. Pelan-pelan kubelai ubun-ubunnya, lalu kukecup lembut.
“Bermimpilah sayang, bermimpilah sesukamu. Bermain dan bercandalah dengan bayi-bayi mungil dambaanmu. Karena mungkin dialam nyata kamu tak akan menemui kebahagiaan seperti itu”

Malas-malasan kuangkat tubuhku, bergerak menjauhi tempat tidur. Pelan dan hati-hati kubuka laci paling bawah dari lemari buku berwarna coklat bata yang terletak dipojokan kamar. Penuh semangat kuraih bungkusan pil yang tergolek disana. Tanpa ragu kureguk sebutir. Pil inilah yang menjadi penolongku setelah Raka mendesakku untuk melepas alat kontrasepsi.

“Aku belum siap menjadi ibu, bahkan mungkin tak akan pernah siap. Maafkan aku Raka” bisikku lirih sambil menatap sekilas padanya yang masih tertidur pulas.

Kegalauan itu kembali menyapaku. Jujur, terkadang akupun rindu mendengar suara bening bergema memanggilku ibu. Namun luka dihatiku membuatku terpenjara dalam ketakutan. Aku takut akan menorehkan luka yang sama pada jiwa yang kelak lahir dari rahimku. Didalam tubuhku mengalir darah seorang wanita yang menghujam perih dijiwaku, dan didalam darahku masih larut bulir-bulir kebencian dan sakit hati.

Aku takut menjadi seorang ibu, karna aku membenci IBU.

malaikat tak bersayap


pintaku pada langit

: Kirimkan aku malaikat tak bersayap
untuk kupeluk dengan cintaku
dan menari bersama dalam taman kehidupan

malaikat yang membawakan aku sepotong hati
menggantungkannya tepat dijantung hatiku
menemani hingga di ujung waktu

langit..., kirimkan aku malaikat tak bersayap
untuk kunamai KEKASIH
hari ini aku belajar mengalahkan diri sendiri, mengesampingkan rasa sakit dan berdamai dengan benci yang sering menghasutku untuk memutus jembatan antara dua insan yang pernah begitu akrab......

akhirnya ucapan selamat ulang tahun itu terkirim juga, untuk dia yang dulu pernah aku kasihi. Sahabat yang kini menjadi kekasih mantan kekasihku. Aku sungguh girang saat dia mau membalas pesanku.

aaaahhhhhhh.....
Rasa sakit masih berdenyut perih saat aku melihat pesannya di inboxku. bukan kata-katanya yg menjadi sumber kesedihan, aku justru mensyukuri kata-kata yang singkat itu. Yang membuat nelangsa adalah profil picture FBnya adalah foto nya dengan seseorang yang hingga kini masih jadi pemilik bilik hatiku..........

Benciku untuk cintaku

aku benci
pada setiap kata cinta yang kau lagukan
pada setiap kasih kau yang teteskan
pada setiap indah yang kau bagi
yang membuat hidupku berwarna
begitu indah begitu nyata
membuatku tak akan lagi bisa menikmati kelabu

aku benci
pada belaian lembutmu dikulitku
pada kecupanmu dikeningku
pada kehangatan bibirmu melumat bibirku
pada setiap sentuhanmu
yang membuatku mengerang
ingin lagi dan lagi.....

aku benci
ketika kau membuka mataku
bahwa aku pantas untuk dicinta
ketika kau membuatku mampu tersenyum
saat duka menyelubungi
ketika aku sadar kau adalah kebahagiaanku

aku benci
karna kau hadir dalam hidupku
puaskan inginku...
puaskan hausku akan kasih...
penuhi hasratku...

aku benci
ketika kau campakkan hatiku
pecah dan berkeping-keping
ketika kau pergi tinggalkan aku
dgn kata cinta
dan memintaku tetap menunggumu

aku benci
saat aku rindu kasih dan perhatianmu
saat aku butuh kata cintamu
saat aku haus akan belaianmu,kecupanmu dan erangan nafasmu

dan yang paling aku benci
adalah karna aku tak pernah bisa membencimu....
karna aku masih saja tetap menunggu

Berbincang dengan bintang


Langit malam ini begitu bercahaya, banyak bintang mengelayut manja disana, pendaran cahaya menari-nari memantulkan keindahan. Disini, disudut ternyaman, tempat yang paling aku sukai, aku mencoba untuk menikmati pantulan keindahan langit malam ini. Hmmmmm… rasanya sudah cukup lama aku tidak berani merasakan saat-saat seperti ini, mungkin setahun…, ah tidak, sepertinya sudah dua tahun…., tapi rasanya lebih dari itu.

Entahlah, sejak kehilangan itu, aku begitu enggan untuk
menghitung hari-hari lagi. Rasanya perih saat menyadari begitu panjang rentang waktu yang terlewati, tapi aku masih saja belum beranjak sedikitpun dari perasaan ini.

Kuangkat kepalaku lebih tinggi, agar aku bisa leluasa memandang hitam dan putih yang terhampar diatas sana. Memandangi langit malam adalah satu dari sedikit hal yang bisa membuatku terhanyut dalam duniaku. Aku seperti melayang kedalam ruang yang luas, hanya ada aku dan pikiranku.

“ Lihat, begitu indah langit malam, keindahan yang sama seperti dulu, pesonanya tak berkurang sedikit pun”, batinku mulai berbisik
“ ya, keindahannya memang tak berkurang sedikitpun, tapi tetap saja ada yang berbeda. Aku tidak lagi bisa merasakan getaran dahsyat yang mengalir ke setiap sendi-sendi tubuhku. Getaran yang diterjemahkan oleh jiwaku sebagai cinta”, sisi lain batinku ikut berbisik.
Hupf… kuhela nafas panjang, mencoba untuk melepaskan rasa dingin yang mulai mengalir keparu-paruku. Tapi tak sedikitpun aku berpikir untuk memakai jaket yang tergolek lesu disebelahku, dia akan tetap ada disana sepanjang malam, tanpa punya kesempatan untuk mendekap tubuhku. Aku membawanya hanya sebagai rutinitas saja, tanpa ada niat untuk menggunakannya.

Sejak kehilangan itu, aku sepertinya mulai terbiasa dengan rasa dingin yang menusuk dagingku, karena jiwaku sendiri nyaris beku sejak cahaya itu tak lagi menghangatkan jiwaku. Sama seperti aku mulai terbiasa dengan kegelapan. Padahal dulu aku begitu takut akan gelap, sesak dan tak berdaya dalam kegelapan, aku terpaksa harus membiasakan diri untuk melawan ketakutanku akan gelap.


“ hei… apa kabar? Sebuah kejutan manis bisa bertemu denganmu malam ini.”
Sebuah bintang yang bersinar terang menyapaku dengan hangat. Kucoba untuk menggerakkan bibirku yang sedikit kaku karena dipeluk dinginnya angin malam. Meski tak begitu sumringah, tapi seulas senyum bisa juga kubentuk.

“ Tak perlu tersenyum bila hatimu tak mau, itu hanya akan menggoreskan rasa sakit. Tanpa senyum pun aku sudah cukup senang, bisa melihatmu lagi itu lebih dari cukup” ujarnya sambil menatapku dengan penuh makna.

Aku hanya bisa balas menatapnya dalam diam. Kalimat yang dia lontarkan itu cukup menyentil hati kecilku. Dia benar, mencoba tersenyum saat hatiku tak mau adalah sebuah kemunafikan. Dan seperti biasa, kemunafikan hanya bisa melukai.

“ Boleh aku tahu mengapa begitu lama kamu menghilang, padahal dulu setiap malam aku selalu melihatmu tersenyum menatap langit?”

Sejenak aku hanya terdiam, sembari mencoba mengurai kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu, kutatap dia lekat. Bintang ini sebenarnya tak asing bagiku. Aku sering melihatnya, dia termasuk bintang yang bersinar sangat terang. Dan sejujurnya, dia begitu indah, cahayanya pun hangat menyapa. Tapi aku tidak terlalu menghiraukannya selama ini, karena ada dirinya, bintang kesayanganku, yang telah mencuri seluruh perhatianku.

“ aku hanya merasa tidak begitu perlu lagi untuk menyapa langit malam, toh aku tak akan menemukan dia berpendar diantara kalian”, kalimat singkat itu terlontar begitu saja. Mungkin keramahannya membuat aku tak sungkan untuk berbagi sedikit isi hatiku.

“ dia??? Apa kah dia yang kamu maksud adalah temanku yang dulu setiap malam selalu berbincang dan bercengkerama denganmu?”, tanyanya dengan antusias.

“ ya… apa kamu mengenalnya?”, sedikit harapan menyeruak dihatiku.
“ aku mengenalnya, tapi tidak begitu dekat dengannya. Dia memang sudah cukup lama tidak terlihat, dan aku pun tak tahu keberadaannya”.

Dia seperti tahu isi hatiku, belum lagi aku bertanya apa dia tahu keberadaan bintangku, dia sudah melontarkan jawaban. Dan aku cukup kecewa dengan jawaban itu. Tadi aku sempat berpikir, kalau mereka saling mengenal, mungkin saja aku dapat menemukan jejaknya.

“ maaf kalau aku tidak bisa memberimu sedikit pun informasi tentang dia, karena aku hanya mengenalnya, tapi jarang berbincang dengannya. Sekali lagi maaf karna aku tak bisa menjawab rasa ingin tahumu”
Wow…lagi-lagi dia tahu isi hatiku….

“ bagaimana kamu tahu apa yang aku pikirkan?”, tanyaku dengan penasaran. Kulihat dia tersenyum simpul.

“ Rasa rindu dan kekecewaan tergambar jelas di kedua bola matamu nona.”
Semburat merah merona dipipiku, malu rasanya. Dia yang baru kali ini berbincang denganku bisa dengan jelas membaca kegelisahanku.

“ Kalau aku boleh menerka, dia adalah sesuatu yang sangat istimewa dan begitu berarti bagimu ”. Dia menatap ku begitu lekat, seolah mencoba menemukan jawaban dari mata dan gerak tubuhku.

“ ya…, dia adalah bintang yang menerangi sisi gelap jiwaku dan selalu menemaniku dalam kegelapan malam.”

“ Jadi dia adalah alasan mengapa kamu selalu tersenyum sumringah saat menatap langit malam? Pasti dia begitu istimewa, hingga mampu menghadirkan senyum yang begitu indah diwajahmu. Mungkin kamu tidak pernah menyadari, senyumanmu begitu menawan, dari jauh aku menikmati senyummu. Bukan hanya aku, bintang-bintang yang lain pun begitu, ketulusan yang terpancar dari senyum dan tatapanmu membuat kami semakin bersemangat untuk bisa berpendar lebih terang”
Aku terperangah mendengar jawabannya

“ bagaimana mungkin senyumanku begitu ampuhnya menyemangati bintang-bintang?”

“ kamu tahu nona, senyum sumringah penuh ketulusan yang tersungging dibibirmu, pantulan ketertarikan dan rasa suka dari tatapanmu, setiap kau melihat ke langit membuat bintang-bintang merasa kehadirannya begitu diterima. Dan tak ada kebahagiaan yang lebih besar dibanding suatu kesadaran bahwa kehadiran kita diterima, dibutuhkan, bahkan begitu diharapkan oleh orang lain”

Aku begitu tersentuh dengan kata-kata yang dia lontarkan. Rasa pedih pelan-pelan berdenyut dihatiku. Kata-kata ini dulu pernah kudengar, bintangku yang membisikkan itu ditelingaku. Yang membuat aku merasa dibutuhkan olehnya. Tanpa sempat kubendung, butiran air mata mengalir dipipiku.

“ hei, mengapa kamu menangis, apa kata-kataku telah melukai hatimu?”. Dia kelihatan gelisah melihatku menangis. Sepertinya dia merasa bersalah

“ tidak, kamu tidak sedikitpun melukai ku, justru aku merasa begitu bahagia karena ternyata seulas senyumku bisa sangat bermakna. Aku menangis karna aku teringat pada bintangku. Andai kamu tahu betapa aku ingin bertemu dengannya. Rasa rindu telah mengerogoti setiap pori-pori tubuhku, hingga aku seperti bernafas dengan kerinduan” lagi-lagi pengakuan itu terlontar begitu saja. Aneh rasanya bila aku bisa mengakui isi hatiku dengan semudah ini, karena aku sebenarnya pribadi yang tertutup soal perasaanku.

“hmmmm, aku bisa merasakan betapa kuatnya perasaanmu padanya. Tanpa kau rangkai dengan kata-katapun, kerinduan itu terbaca dengan jelas disana, dimatamu, digerak tubuhmu, diraut wajahmu. Sepertinya rasa itu telah menyatu dengan dirimu. Begitu hebatnya dia, bisa menghadirkan rasa yang begitu besar dalam dirimu. Seandainya aku adalah dia, aku akan sangat bersyukur bisa dicintai seperti ini”
Airmataku mengalir semakin tak terbendung mendengar kata-katanya. Rasa sakit itu kembali mengerogotiku, semakin kuat mencengkramku.

“ tapi sayangnya, dia tak sepikiran denganmu. Buktinya, dia begitu tega, meninggalkan ku seorang diri dalam kegelapan malam. Tanpa menyisakan sedikitpun petunjuk agar aku bisa mengurai jejaknya. Dia juga tak memberiku kesempatan untuk tahu mengapa dia menghilang dari hidupku ”, ujarku disela-sela isak tangis yang semakin kencang mengalun

“Aku tak mengerti mengapa dia bisa meninggalkan cinta yang begitu tulus untuknya. Tapi aku yakin, pasti ada alasan yang kuat hingga dia sanggup kehilangan waktu untuk menikmati kehangatan tatapan dan keindahan senyum yang kamu bagikan. Aku yakin, dimanapun dia berada saat ini, dia juga pasti begitu merindukanmu.”

Sejenak tangisku berhenti, kata-katanya mengelitik emosiku. Mengapa dia bisa bilang seperti itu bila dia tidak mengenal bintangku dengan baik.

“ Jangan sok tahu kamu, bukankah kamu tidak mengenalnya, bagaimana bisa kamu mencoba menerka isi hatinya?”

“ aku memang tidak dekat dengannya, tapi kamu tidak lupa kan, aku juga bintang, sama seperti dia. Meski kami bersinar ditempat yang berbeda, tapi kami punya pekerjaan yang sama, kami adalah sahabat langit. Bukankah tadi aku sudah bilang, aku sering melihat kalian berbincang dan bercengkerama. Dan tidak sulit untuk bisa menterjemahkan pendaran cahaya yang dia pantulkan padamu, ada cinta yang terbiaskan dalam kilauan sinarnya.”
Kulihat dia tersenyum penuh makna, tak sedikitpun kutemukan keraguan disana

“ Tidak mudah untuk meninggalkan seseorang yang kita cintai. Apapun alasannya, mungkin buat dia, meninggalkanmu adalah pilihan yang paling tepat saat ini. Percayalah padaku, kemanapun dia pergi, ketulusan cintamu pasti ikut bersamanya.”, ujarnya lagi.

Aku benci mendengar kata demi kata yang dia bagi, karena kata-kata itulah yang selalu dibisikkan suara hatiku. Aku tak mampu mencerna ini semua, karena bagiku, tak ada alasan yang pantas untuk membuat kita meninggalkan cinta kita. Bila benar cinta, tetaplah ditempat, jangan beranjak dan bertahanlah demi cinta.

“ Nona, terkadang ada hal yang tak bisa kita pahami, dan memang tidak perlu dipahami. Cukup dimengerti dengan hati, dan biarkan mengalir, jalani saja. Pada waktunya, kamu pasti akan menemukan jawabannya. Dan yang terpenting percayalah pada suara hatimu, karena dia adalah lentera jiwamu, dia tak pernah berdusta”

Lihat, lagi-lagi dia tahu apa yang berkecamuk didalamku. Hatiku seperti sebuah buku terbuka yang bisa dia baca dengan leluasa.
“Jangan-jangan dia adalah titisan bintangku?”, bisik ku lirih, dalam hati.

“ entahlah, aku terlalu lelah untuk berpikir. Aku tak ingin lagi menerka-nerka, yang aku inginkan hanyalah bertemu dengannya, dan menemukan jawaban untuk segala tanya.. Nyaris mustahil bagiku untuk mencarinya, langit terlalu jauh untuk kusinggahi. Aku tak punya kekuatan untuk bisa kesana, bahkan cinta dan hasrat yang begitu besarpun tak bisa memberiku sayap untuk terbang kelangit dan mencari jejaknya. Maukah kamu membantuku untuk mencarinya??? Aku mohon, tolong bantu aku menemukan bintangku, terlalu sulit bagiku untuk terus hidup dengan rasa kehilangan ini. Setidaknya aku hanya ingin dia tahu apa yang aku rasakan saat ini”

Kulipat kedua tanganku, kuarahkan kelangit. Dengan penuh harap aku memohon padanya. Bila dia minta aku berlutut pun, akan aku lakukan. Demi bintangku, aku bisa melakukan apapun, bahkan yang aku pikir tak mampu aku lakukan.

“ baiklah, aku akan mencarinya untukmu, tapi kamu harus berjanji satu hal padaku”

Sukmaku melonjak kegirangan mendengar dia mau membantuku, tak terkira bahagianya aku karna setelah sekian lama, akhirnya ada yang mau menolongku mencarinya.

“ apa itu? Kamu tahu, aku akan melakukan apa saja demi dia” kataku dengan sungguh-sungguh.

“ berjanjilah padaku, mulai hari ini kamu akan terus tersenyum. Meskipun rasa kehilangan itu masih begitu kuat mengikatmu, tetaplah tersenyum. Kembalilah memancarkan energi positif pada setiap yang ada di dekatmu, dengan tatapan hangat dan senyuman tulus yang selama ini selalu kamu bagi”

Nyeeeeeeeshh, lagi-lagi dia menyentil nuraniku. Aku jadi tersadar, rasa kehilangan telah membuatku menjadi begitu egois, hingga aku lupa bahwa masih ada orang lain yang membutuhkanku

“baiklah, aku janji, mulai hari ini aku akan mencoba untuk kembali tersenyum. Terimakasih karena mau membantuku. Bila nanti kamu menemukannya, tolong katakan padanya, aku akan selalu menunggunya disini, tak akan beranjak sedikitpun. Selalu ada tempat untuknya dihatiku, karena dia adalah yang aku pilih untuk menyinari sisi gelap hatiku, kemarin, kini ataupun nanti. Bukan karena dia bintang paling terang, tapi karena hanya dia yang hatiku mau”

Dia tersenyum tulus sambil perlahan bergerak menjauh.
“ pesanmu sudah tercatat dipikiranku, bila aku menemukannya, aku pasti akan menyampaikan pesan yang indah ini. Sebentar lagi mentari akan tiba, sudah waktunya aku beranjak. Jangan lupa untuk tetap tersenyum, percayalah kekuatan cintamu akan membantuku menemukan dia. Cinta akan membawanya kembali padamu”
Pelan-pelan pendaran cahayanya mulai meredup, dan hanya dalam beberapa detik, dia menghilang dari tatapanku.

Setelah hari itu, setiap malam aku selalu tersenyum menatap langit. Berbagi kehangatan dan menikmati pacaran bintang-bintang yang berpendar menyapaku. Rasa kehilangan itu memang masih ada dihatiku, lubang itu juga belum tertutup. Aku pun tak pernah lagi melihat bintang yang berbincang denganku malam itu. Tapi dia telah menumbuhkan keyakinan dalam hatiku. Aku tahu saat ini dia sedang berkelana mencari bintangku. Langit memang terbentang begitu luas, namun aku percaya, entah bagaimana caranya, pesan itu akan sampai pada dia yang selalu aku rindukan.

Aku akan selalu tersenyum menatap langit, karna aku yakin pada waktunya aku akan menemukan apa yang aku cari. Cinta akan menemukan jawabanya, tepat pada waktunya.

Senin, 01 Februari 2010

sajak rindu


Nyaris lelah aku mengeja sepi
yang selalu tertulis dalam buku jiwaku
hampa..., tanpa gelak tawa, tanpa tangis
yang dulu selalu terurai karenamu

Adakah kau lihat?
bunga-bunga rindu menyembul diantara ranting-ranting
yang mengering di dahan hati
mekar lalu layu tak jua dipetik
bisakah kau dengar?
bisik lirih yang kutitipkan
pada angin yang berhembus menyapamu lembut

Puluhan purnama aku menanti
tersesat di tengah gurun rasa yang gersang
menjerit pilu dalam diamku

Aku merindumu Bin...,
hasrat ini seperti air yang terus mengalir
tak jua menemukan tempat bermuara

Sungguh aku RINDU

- Altar Hati, 31 Januari 2010 -

LUKISAN CINTA RAISYA - Prolog -

Kemarin kami pernah berbincang tentang esok, menyemai harapan di atas awan impian. Dengan jari jemari yang tumpang tindih, dua jiwa yang kasmaran melukis di atas kanvas masa depan. Lukisan sebuah istana cinta milik kami.

Dengan hati-hati kami melukis pondasinya, berkali-kali digores hingga terlihat tegas dan kokoh. Sembari melukis, dia berbisik lembut ditelingaku. Hingga hari ini kata demi kata masih segar di ingatanku.

” Bila esok menyapa, aku ingin selalu ada kamu dalam setiap lembarnya. Mengecup lembut bibirku dan menyuguhkan sekerat sapaan hangat. Menjadi selimut dalam dinginnya malam, memetik bintang dan menyematkannya didadaku, agar gelap tak mampu merangkulku.”

Saat itu aku hanya merespon ucapannya dengan seulas senyum, tapi didalam hati aku berteriak, meminta agar Tuhan mendengar bisikannya.

Dimataku, lukisan itu sangat indah, meski hanya siluet hitam putih. Sebuah istana kecil berdinding kayu, bediri tegak ditengah-tengah taman yang dipenuhi bunga lily. Tak pernah kutemui lukisan seindah itu seumur hidupku, karena disana ada aku dan dia. Tersenyum sumringah diantara peri-peri mungil bersayap indah.

Ya, disana ada 5 peri mungil ( jumlah yang telah melalui perdebatan panjang. Aku yang hanya ingin ada dua peri akhirnya mengalah padanya yang ingin ada 5 peri menghuni istana kecil itu), menari dan melompat dengan kepakan sayap-sayap yang penuh warna. Kami yakin kehadiran mereka akan menjadi bunga cinta yang menambah makna, memberi ruh pada lukisan itu. Istana impian menjadi lebih hidup dengan adanya 5 peri mungil itu, indah seperti nirwana. Dan aku pun menjadi begitu bergairah, ingin esok segera menyapa.

Tak lupa guratan garis-garis hitam menyempurnakan lukisan itu. Awalnya aku tak begitu suka dia mengurat banyak garis hitam, tapi penjelasannya melumpuhkan aku.

” Garis-garis hitam ini mewakili prahara-prahara yang mungkin akan menyinggahi istana kita”

Lalu dengan sigap dia menghapus garis-garis hitam itu.

” Lihat, tanpa garis-garis itu lukisan cinta kita terlihat kaku dan beku, seperti tubuh yang tak bernyawa” ujarnya penuh makna. Dan aku akhirnya dengan penuh semangat menemaninya menorehkan garis-garis hitam diatas kanvas.

Dia membingkai lukisan itu dengan untaian janji-janji dan menutupnya dengan sebaris kata yang melambungkan aku hingga kelangit ketujuh.

” Tasya, kamulah esok ku, tanpa kamu tak akan pernah ada hari esok untukku”


Uuhhhhhhkk..., selalu ada sesak yang meyeruak setiap kali sepotong kenangan itu hadir lagi dalam ingatanku. Pelan air mata mendesak keluar dari pelupuk mata, tanpa perlawanan kubiarkan saja airmata itu mengalir. Tetes demi tetes berjatuhan membasahi tangan kaku yang ada dalam genggamanku. Dalam hati aku berharap ada keajaiban seperti dalam cerita dongeng, tetesan air mata membuatnya terbangun dari tidur panjangnya. Aku sungguh ingin dia terbangun, aku rindu mendengar suara renyahnya memanggil namaku.

1 menit..., 5 menit..., 10 menit..., tetap tak ada reaksi. Hanya ada suara mesin mengalun diantara keheningan. Aaaahhh, ternyata memang benar, cerita-cerita indah dalam dongeng hanya isapan jempol belaka. Pangeranku yang tertidur tak jua terbangun dengan kecupan ataupun tetesan airmataku.

Dia tertidur lelap seakan tak perduli lagi akan hari esok. Dan aku hanya bisa menatap hampa pada lukisan cinta yang terpajang disebelah tempat tidur Raihan, diam terpaku ditempat seolah waktu berhenti berputar